Kemerdekaan Pers Menurut Undang-Undang

Mau Pilih Mana: Dewan Pers (DP) Atau Dewan Pers Indonesia (DPI)?

Mau Pilih Mana: Dewan Pers (DP) Atau Dewan Pers Indonesia (DPI)?***
JAKARTA, (MTN) - Lembaga atau badan pers kini tak hanya bernama Dewan Pers (DP), tapi kini juga telah lahir Dewan Pers Indonesia (DPI) pada Rabu (6/3/2019) melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019.

Meski belum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, namun DPI sama sekali tidak dapat dituding sebagai lembaga pers yang ilegal. Sebab Keputusan Presiden yang diperoleh DP (maupun nanti DPI) bukanlah tanda hierarki pertanggung-jawaban terhadap presiden. Karena kedua-duanya adalah lembaga independen.

Intinya, prosedur dan mekanisme “kelahiran” keanggotaan DP dan DPI, sama-sama sudah sesuai dengan yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Pasal 15 Ayat 3 huruf a, b, dan c; serta Ayat 4).

Banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa DPI “wajib” (bukan terpaksa dan asal-asal) dimunculkan. Yakni, tidak sedikit wartawan ataupun organisasi pers yang “jengkel” dan akhirnya gerah dengan “perilaku” DP yang dinilai arogan dan dipandang sangat jelas bertolak belakang dengan UU No.40/1999.

Di antaranya, Pertama, DP memunculkan penekanan wajib kepada seluruh perusahaan pers untuk melaksanakan verifikasi media. Dan apabila tidak dilakukan, maka perusahaan pers yang bersangkutan dituduh sebagai perusahaan abal-abal, bahkan ilegal.

Padahal, tujuh fungsi DP dalam UU Pers salah satunya disebutkan pada Pasal 15 Ayat 2 huruf g menyebutkan: ” 2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: g. mendata perusahaan pers“.

Artinya, verifikasi yang dilakukan oleh DP harusnya hanya sebatas untuk kebutuhan mendata perusahaan pers, dan bukan sebagai alat ukur untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perusahaan pers.

Sebab yang menjadi alat ukur “paten” sah atau tidaknya sebuah perusahaan pers sudah disebutkan dalam UU No.40/1999 Pasal 9 Ayat 2, yakni: “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia” (Badan hukum dibuktikan dengan adanya SK dari Kemenkumham).

Kedua, DP menetapkan kewajiban kepada wartawan untuk mengantongi sertifikat Ujian Kompetensi Wartawan (UKW). Jika tidak, maka wartawan yang bersangkutan juga dinilai sebagai wartawan abal-abal.

Penetapan kewajiban verifikasi media dan UKW bagi wartawan (termasuk “melarang” perusahaan untuk mendudukkan seseorang sebagai pemimpin redaksi jika belum UKW Utama), inilah yang tentu saja dipandang bahwa DP telah sangat jauh mencampuri urusan “dapur” milik perusahaan orang lain. Padahal lahirnya UU Pers justru adalah untuk memberikan kemudahan, bukan untuk mempersulit perusahaan pers.

Parahnya, apabila ada wartawan yang terlibat hukum dalam menjalani profesinya, DP menyatakan diri tidak bertanggung-jawab, atau lepas tangan.

Hal itu terbukti dialami seorang wartawan, Muhammad Yusuf, meninggal dunia setelah dipenjara karena harus berjuang sendiri “membayar” harga sebuah berita tanpa didampingi oleh DP (yang katanya melindungi kemerdekaan pers). Tapi nyatanya, Dewan Pers malah merekomendasi kasusnya diteruskan ke pidana umum, dengan alasan almarhum belum ikut UKW dan medianya belum terverifikasi Dewan Pers.

Arogansi dan “Kekejaman” Dewan Pers semua itulah yang membuat tidak sedikit wartawan dan organisasi pers (termasuk perusahaan pers) yang belum terverifikasi di DP, pada akhirnya lebih memilih melahirkan DPI.

Olehnya itu, saat ini wartawan (atau perusahaan pers) maupun organisasi pers dapat memilih secara bebas untuk menjadi konstituen: DP atau DPI?

DP saat ini memiliki 7 organisasi pers, sementara DPI yang baru lahir itu telah memiliki 12 organisasi pers sebagai konstituen (dimotori SPRI: Serikat Pers Republik Indonesia).

Wartawan yang jumlahnya ratusan ribu di bawah naungan puluhan ribu media (perusahaan pers) serta organisasi pers yang belum terverifikasi di DP, bisa dipastikan ke depan akan lebih “berkiblat” kepada DPI.

Sebab, pihak DPI berkomitmen memberikan kemudahan pengurusan sertifikasi serta verifikasi media, wartawan, dan organisasi pers.

Komitmen lainnya, DPI bertekad menjalankan program pemeratan kesejahteraan kepada seluruh konstituennya. Yakni, dengan melalui upaya pendekatan kepada seluruh perusahaan raksasa di Jakarta yang tiap tahunnya menganggarkan belanja iklan nasional sekitar total Rp.150 Triliun.

Menurut Ketua DPI, Heintje Mandagie, selama ini Rp.150 Triliun itu hanya dikuasai dan disedot oleh sekitar 7 atau 10 media di Indonesia. “Dan Dewan Pers (DP) selama ini hanya diam saja tanpa berupaya untuk melakukan upaya pemberdayaan, agar seluruh media di daerah juga ikut menikmati belanja iklan nasional sebesar itu,” ungkap Heintje.

Heintje menjelaskan, Rp.150 Triliun itu berasal dari perusahaan-perusahaan manufaktur, industri barang konsumsi, dan perusahaan-perusahaan raksasa lainnya. “Mereka membelanjakan sekitar 150 Triliun untuk beriklan di media-media. Dan saat ini tidak lebih hanya 10 media yang menguasai anggaran itu. Gila nggak?!” lontar Heintje seraya menambahkan bahwa hal itu sangat jelas-jelas adalah merupakan bentuk monopoli yang boleh jadi telah terbangun secara terstruktur dan sistematis di lingkaran media kapitalis.

Padahal, menurut Heintje, barang-barang yang diiklan itu pembelinya bukan hanya konsumen yang ada di Jakarta, tetapi paling banyak adalah dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. “Termasuk di Gorontalo, di Sulawesi, di Kalimantan, Jawa, Ambon, Papua, dan seluruh daerah lainnya. Tapi giliran bagi-bagi anggaran iklannya, masa sih cuma dinikmati oleh tujuh orang pemilik media yang ada di Jakarta?” ujar Heintje.

Heintje pun mengajak seluruh wartawan dan media-media (perusahaan pers) serta organisasi pers yang dianggap abal-abal, karena belum terverifikasi di DP untuk dapat bergabung di DPI.

“Kita bisa bersatu untuk berupaya agar belanja iklan nasional itu juga bisa dibagi-bagi secara merata ke semua media yang ada di daerah-daerah (yang tergabung dalam DPI), misalnya minimal satu Triliun per provinsi,” imbau Heintje.

Jika pemerataan itu terjadi, maka menurut Heintje, wartawan atau media-media tidak perlu lagi menjadi “pelacur” dan mengemis-ngemis ke Pemda-pemda untuk membangun kerja sama kontrak publikasi.

“Dengan dana sebesar itu dari belanja iklan nasional, maka Pers bisa benar-benar menjalankan fungsi pengawasan. Pemda-pemda pun bisa mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih karena sudah diawasi secara ketat oleh pers. Tapi sekarang siapa yang mengawasi Pemda-pemda jika semua pers (media) sudah membangun kontrak kerja sama publikasi?” tegas Heintje.

Nah, Heintje pun memberi pilihan kepada para wartawan dan media-media pers serta organisasi pers, untuk bebas memilih mau bergabung ke DP atau DPI?

“Kami tidak akan memaksakan wartawan, media, dan perusahaan pers untuk bergabung ke DPI. Silakan bebas untuk memilih. DPI hanya memberikan kemudahan dan berupaya membuat media-media agar dapat menjalankan perusahaan pers-nya dengan menjamin kebebasan dan kemerdekaan pers menurut undang-undang, serta ingin memastikan akses ekonomi yang dibangun oleh perusahaan pers tidak terhambat dan dihambat oleh pihak-pihak manapun,” pungkas Heintje. (Ams/Dm1)***


TERKAIT